“Jelas dia kaya kan orang tuanya juga kaya.”
“Jelas dia sukses kan orang tuanya sukses, dari keluarga Bapak Ibunya juga sukses.”
“Ya iyalah dia dokter, dari kakek nenek, om tante, nyokap bokapnya juga dokter. Dia mah bakal ngelanjutin bisnis Rumah Sakit punya keluarga.”
“Pantesan dia jadi bos, kan dulu bokapnya juga kerja disini. Owner pula. Ya posisi dia mah tinggal nerusin aja.”
“Pasti lah dia bakalan jadi anggota DPR berikutnya, kita tau sendiri siapa keluarga besarnya.”
Banyak orang merasa bahwa kesuksesan merupakan sifat genetik yang diturunkan dari orang tuanya dan garis keturunan diatasnya. Tidak banyak yang tahu bahwa menjadi seperti orang tua ataupun kakek nenek mereka yang sukses sebelumnya diperlukan usaha. Butuh keterampilan yang diasah secara terus menerus.
Butuh perjuangan untuk memulai segalanya dari nol.
Tidak ada sesuatu yang bersifat instan. Bahkan untuk membuat mie berjudul Mie Instan pun, kita memerlukan beberapa langkah sebelum memulai prosesnya hingga mie tersebut siap dimakan dengan layak. Jadi, semua hal akan dapat tercapai jika memang sudah dimulai. Mustahil mendapat kesuksesan atas sesuatu yang masih di angan-angan. Sesuatu yang tidak dikerjakan sama sekali.
Tulisan ini dibuat setelah mengamati beberapa teman pengusaha di lingkungan sekitar. Dan dianggap sukses oleh teman lainnya. Kemudian, beberapa kenalan yang dianggap sukses di lingkungan kerjanya karena memiliki rumah mewah dengan pilar besar dan beberapa kendaraan dengan harga fantastis.
Lalu, ada kenalan lain yang terlihat tidak pernah meninggalkan rumahnya namun hidupnya baik-baik saja seperti uang datang sendiri tanpa dijemput. Selain itu, ada juga teman-teman yang dilabeli sukses menjalankan rumah tangga dengan baik, karena selalu rutin liburan ke luar negeri bersama pasangan dan anak-anaknya.
People always judge based on their view. Yeah, because things that they could do is only to view. From the outside.
Iya, publik selalu menilai dari apa yang tampak dari luar. Ia tidak pernah mencoba mendalami apa yang sebenarnya terjadi dengan label ‘sukses’ yang mereka sematkan kepada orang lain.
Pengusaha-pengusaha sukses itu, mereka pernah jatuh bangun mati-matian mempertahankan bisnis mereka, demi menghasilkan penjualan harian untuk menutup biaya produksi, menyisihkan sebagian keuntungan untuk makan keluarga dan karyawannya. Mereka perlu menyisihkan sebagian uangnya untuk menutup biaya rumah sakit yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
Para karyawan yang bekerja di gedung-gedung tinggi itu, jangan dikira ia bisa berada di puncak kepemimpinan perusahaan itu atas usaha semalam saja.
Mungkin untuk sebagian orang yang memiliki privilese, berada di puncak sebuah organisasi tidak membutuhkan usaha besar karena mereka tinggal meneruskan usaha yang dibangun oleh beberapa generasi di atas mereka. Namun, mereka juga mempunyai ujiannya sendiri. Bagaimana perusahaan yang dibangun oleh leluhur mereka dapat tetap hidup dan berkembang menjadi lebih besar. Mereka juga punya tuntutan yang bila kita ditawarkan untuk bertukar peran, kita tidak akan sanggup. Bahkan hanya untuk sekedar bertahan sehari.
Saat ini kesuksesan masih memiliki makna yang sama seperti kesuksesan di masa lalu. Memiliki harta benda berlebih di atas level masyarakat pada umumnya. Berada di Top Level Management di sebuah perusahaan yang terkenal dan terpandang. Mendapatkan undangan televisi ataupun undangan jamuan dari Presiden. Pergi berlibur dengan transportasi dan akomodasi di level tertinggi dari banyak pilihan yang tersedia.
Setelah mengamati beberapa kolega, teman, kenalan yang memiliki berbagai profesi, yang dapat saya simpulkan mengenai kesuksesan sesungguhnya adalah rasa berkecukupan. Seseorang yang dikatakan sukses adalah orang yang paham rasa cukup untuk dirinya. Jika pun ia menerima lebih dari yang cukup untuk dirinya, maka ia tahu kemana seharusnya hal yang berlebih itu diberikan.
Iya, tulisan ini mengenai berbagi. Bagaimana bisa orang akan berbagi jika ia tidak pernah merasa cukup?