Menjadi dewasa itu merupakan sebuah proses yang amat berat. Terlalu banyak kejadian pahit yang harus dialami, kejadian menyenangkan dan berbagai hal yang harus dilalui sebelum kita bisa dikatakan sebagai individu yang dewasa.
Terlalu banyak tuntutan ketika menjadi dewasa. Entah dari diri sendiri ataupun orang lain. Kalaupun tidak ada tuntutan dari orang lain, terkadang diri ini suka menuntut berlebihan atas kemampuan yang dimiliki. Ingin lebih kaya dari sebelumnya, ingin punya tabungan sekian milyar, ingin memiliki financial freedom. Ingin memiliki aset sebanyak-banyaknya. Ingin memiliki teman dan pasangan yang sempurrna. Tidak memiliki kekurangan sedikit sama sekali. Ingin tinggal di daerah elit, dimana tetangganya ramah, suka berbagi makanan tapi tidak suka bergosip. Sungguh merupakan hal yang mustahil, karena manusia tidak ada yang sempurna.
Begitupun tentang pernikahan. Ingin memiliki pasangan yang secinta itu ke kita dan mertua yang menghargai dan menyayangi kita sebagai menantunya. Ingin punya anak, ingin memberikan warisan sebanyak-banyaknya kepada anak dan keturunan. Padahal kita ini manusia. Kita lupa bahwa ada Dzat yang mengatur keberadaan kita. Memberikan aturan dan batasan agar kita sebagai manusia tidak melanggar apa-apa yang sudah ditetapkan.
Dikatakan menjadi dewasa itu ya kita harus memiliki bisnis atau usaha. Atau bisa juga dengan memiliki karir di perusahaan sehingga bisa menghasilkan uang dalam jumlah besar. Berada pada posisi atau jabatan tertentu sehingga disegani banyak orang. Menjadi seorang pemilik bisnis dengan karyawan berjumlah ribuan. Menghasilkan omset ratusan juta per bulan atau milyaran. Dan harus meningkat di tiap bulannya. Manusia ini banyak maunya. Bagaimana dengan para ibu rumah tangga yang memilih mengurus anak dan rumah. Bagaimana dengan para pengepul sampah dan pengayuh becak yang berusaha menghasilkan uang dari hal yang tidak pernah kita lirik sedikitpun. Apakah mereka tidak bisa disebut sebagai individu yang dewasa?
Harta yang berlimpah terkadang menyilaukan mata. Tidak saja mengundang orang-orang yang memiliki niat jahat namun juga orang-orang di lingkungan sekitar. Apalagi semakin kita bertambah usia, kita akan memilih untuk tinggal di lingkungan baru. Kita ingin menjadi individu baru. Lepas dari kenangan masa kecil. Ingin menciptakan sebuah image baru, bahwa kita adalah individu yang dewasa karena sudah keluar dari rumah tempat kita tumbuh bersama orang tua.
Semakin dewasa, mengingatkan diri ini tentang apa-apa yang sudah dilalui, apa yang didapat dan apa yang sudah dilakukan. Di agama yang saya yakini, apa-apa yang kita terima, kita berikan, kita lalukan semuanya akan diperhitungkan oleh Sang Pencipta.
Bagaimana bisa saya melakukan sesuatu sesuka hati tanpa mengingat bahwa semua ini akan dihisab. Semua akan diperhitungkan, akan ditimbang. Tidak cuman harta tapi segalanya. Hal ini yang membuat saya bertanya pada diri sendiri saat akan memiliki sesuatu dan/atau akan melakukan sesuatu. Apakah ini akan menjadi manfaat?
Saat ini saya memilih hidup secara berkesadaran. Atau yang biasa disebut dengan mindful. Memilih melakukan sesuatu dengan kesadaran penuh dan menikmatinya saat menjalaninya. Mengapa saya memilih tinggal di suatu daerah, memilih berkarir di suatu perusahaan, memilih untuk menjalani peran tertentu dan lain sebagainya. Melakukan hal secara mindful memang membuat saya tidak dapat mengambil keputusan secara cepat, karena dilandasi kesadaran akan segala konsekuensi yang akan terjadi di masa depan.
Dalam beberapa hal saya juga memulai penerapan pola mindful ini, seperti memilih untuk menjalani mindful living, mindful eating dan mindful marriage.
Mengenai alasan mengapa saya melakukannya, akan saya tulis di catatan #60HMB berikutnya.