Cerpen: Surat Untuk Diriku

Kisah ini dimulai sebelum aku menyadari bahwa kehidupan seorang manusia tidak ada yang sempurna. Bahkan, seorang Nabi terakhir yang dijamin surgaNya pun, ketika menjalani hidupnya pun tak sesempurna itu.

“Gue ga bisa kasih lu kepastian, gue uda punya pasangan,” ucapku padanya. Sosok yang selama ini selalu ada dan bersedia untuk memenuhi segala kebutuhanku.

“Gue juga uda punya bini, gue ga akan bisa kasih lu lebih selain ini.” Ucap Reno ke Fina.

Reno adalah sosok pekerja keras dan bertanggung jawab. Memiliki postur tinggi, berbadan tegap dengan rambut klimis, selalu terlihat rapi dan wangi. Memiliki istri yang merupakan teman SMA dan sudah menikah selama 20 tahun lebih. Memiliki 2 orang anak, seorang putra yang sedang berkuliah di Universitas ternama di Indonesia dan seorang putri yang masih bersekolah di Boarding School dekat tempat tinggal mereka.

Memiliki keluarga yang harmonis, berasal dari suku dan budaya yang sama, serta kekayaan tak terbatas ternyata tidak membuat Reno merasa cukup. Konon katanya perkebunan sawit, pala dan cengkeh terbesar di Sulawesi adalah milik keluarga besar Reno dan istrinya. Ibarat kata tanpa bekerja pun mereka tetap masih bisa menikmati kekayaan yang tidak akan pernah habis.

Berbeda dengan Fina, terlahir dari keluarga sederhana yang mungkin bisa dibilang di bawah garis kemiskinan karena kedua orang tuanya adalah pengungsi yang kabur dari kerusuhan 98 di Jakarta. Fina memiliki 8 saudara kandung. Orang tuanya tidak pernah mengharapkan kehadirannya karena 8 anak yang telah dilahirkan sebelumnya sudah cukup membuat kedua orang tuanya harus membanting tulang.

Pada suatu malam, Fina lahir dan Bapak Ibunya mengeluh karena tidak seharusnya mereka punya anak lagi.

“Bapak sih ga bisa nahan diri. Gimana kita membesarkan anak ini? Anak kita udah banyak?” ucap Ibu Fina sembari mengeluh karena tidak sanggup membayangkan bagaimana membesarkan Sembilan orang anak.

“Wahai istriku, bersabarlah, kita tidak pernah tau, mungkin anak ini adalah penolong kita di kehidupan berikutnya. Yang akan membantu saudara-saudaranya saat membutuhkan nanti. Yang menjadi penyejuk hati di kehidupan kita.” Ucap sang Bapak menenangkan istrinya. Agar luka bekas lahiran secara normal bersama bidan di rumah tidak terlalu menyakiti istrinya.

***

“Fina, papa minta maaf ya uda merepotkan kamu dan suami terus-terusan. Papa ga bermaksud nyusahin kamu, kalau bisa memutar waktu, papa ga akan ngerusak hidup papa dengan minum-minuman itu. Kamu baik-baik ya sama Aldo. Jaga Aldo, dia suami yang baik. Papa harap kamu bisa berbakti pada suamimu dengan baik. Sama seperti mama kamu ke papa.” Ucap papa padaku beberapa saat sebelum mengalami serangan jantung untuk ketiga kalinya di tahun ini.

Aku tahu papa sudah tidak sanggup bertahan lebih lama lagi, sehingga aku mengajak Aldo untuk membawa papa ke rumah sakit terdekat.

Aku mengabarkan perihal kondisi papa ke semua saudaraku, dengan maksud agar mereka membantu proses administrasi ataupun memberikan dukungan entah keuangan ataupun mental. Karena semenjak papa didiagnosa mengalami kebocoran jantung, tidak ada satu pun dari mereka yang menanyakan bersedia untuk merawat papa ataupun sekedar menanyakan kabar.

Malam itu juga, aku menginformasikan kepada ke atasan kerja dan beberapa rekan kerja karena kemungkinan aku tidak dapat bekerja karena sedang fokus merawat papa.

Reno sudah tiba terlebih dahulu di Rumah Sakit Daerah tempat papa biasa dirawat. Membantu proses administrasi untuk rawat inap sebelum dilakukan tindakan yang diperlukan sesuai saran dari dokter.

Aldo pun menanyaiku, “Kamu hubungin Reno? Kamu ga percaya sama aku buat ngurusin papa?”