Back Home to (Leave) You

“Di, makasi uda bertahan sampe hari ini dan buat semua-muanya.”

Gw mencoba memulai obrolan setelah keheningan menyelimuti kami selama menikmati makanan Jepang favorit kami. Gw sengaja milih menu kesukaan kami, kesukaan dia sih sebenernya, tapi gara-gara dikenalin sama dia, gw jadi doyan juga. Karena gw rasa hari ini bakalan jadi pertemuan terakhir, gw cuman pengen nyenengin dia. Hampir setahun sejak pertemuan kami yang terakhir, ga banyak yang berubah di dia. Tetap sabar, meski gw nyasar keluar di Terminal Kedatangan Internasional. Lah kan gw penerbangan domestik yak. Entahlah gimana ceritanya.

“Ngomong apaan sih lo. Ini nih tahu mirip kaya pipi lo, bulet banget hahaaa…”

Sambil mindahin tahu itu ke piring gw.

“Ah sial ini nih yang bikin gw ngerasa dia beda dari awal. Dan gw ngerasain perasaan ini lagi.”

Gw cuman bisa ngomong dalam hati. Gw uda ambil keputusan dan ga boleh goyah. Kudu kuat!

“Di, kayanya gw terjebak rasa nyaman deh.”

Gw mencoba memulai percakapan ke arah yang lebih serius.

“Rasa nyaman ame siape? Siapa lagi nih yang lagi deketin? Temen kantor lo lagi? Temen sekolah? Apa yang langsung ngajak nikah itu? Oh gw tau, pasti sama cowok yang nyokap lo salah manggil nama gw itu kan. Astaga, masih aja. Tentuin sikap, Na!”

Adi nih kebiasaan suka ngomel panjang, padahal gw aja belom mulai jelasin detailnya. Tapi gw selalu ketawa sama omelannya. Sampe dia bilang, ini gw lagi marah dan lo malah ketawa. Gw juga ga ngerti kenapa, abis kalo dia ngomel banyak benernya dan gw bingung musti ngerespon gimana, jadi cuman bisa ketawa.

“Lo masih inget ga obrolan kita siang pas makan di resto yang porsinya gede banget itu. Tentang tolak ukur pasangan kita masing-masing?”

Gw mulai lagi pake nada serius.

Continue reading

Surat dari Sang Penggemar

Sabtu, 8 Agustus 2020.

       Sore itu, aku sengaja meluangkan waktu untuk membagikan undangan pernikahanku yang akan dilaksanakan dalam 2 minggu ke depan. Terbang ke Jakarta di akhir pekan dan membagikan satu per satu undangan untuk sahabat, kerabat dan teman dekat yang berdomisili di Jakarta. Dari sekitar 20 undangan yang telah disiapkan, tersisa satu undangan yang sengaja diberikan terakhir untuk Dito. Ya, Dito. Seorang laki-laki yang bukan termasuk sahabat, kerabat ataupun teman dekat. Ia kuanggap sebagai kakak. Kakak laki-laki yang didambakan, yang diidamkan, sosok yang melindungi dengan sepenuh hati. Mengingat sebagai anak pertama, aku harus menjadi teladan bagi adik, memberikan contoh terbaik bagaimana menjalani hidup, menanggulangi badai dan terpaan ombak di setiap perjalanan. Mas Dito, begitu aku memanggilnya. Sosoknya begitu karismatik, tatapan matanya yang teduh serta senyumnya yang menenangkan cukup membuatku merasa nyaman ketika berada di sekitarnya. Sepanjang hari bersamanya hanya akan terasa seperti 5 hingga 10 menit saja. Pertemuan dengannya selama apapun itu pasti akan terasa singkat. Entah karena kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutku atau karena bunga-bunga mendadak bermekaran ketika aku bersamanya. Perjalanan menembus kemacetan Ibukota untuk menuju bandara terasa singkat, karena tatapan matanya yang seolah tak bisa lepas padaku. Senyumnya yang terkembang sempurna serta cara tertawanya yang menyenangkan siapapun pendengarnya, benar-benar tidak mudah dilupakan.

       Mas Dito benar-benar sosok yang out of reach lah, ketika ku coba mengingat masa-masa awal perkenalan kami. Seorang teman kami tiba-tiba berkata padaku, “Yang itu namanya Dito. Dia lagi proses sama cewek Sunda, udahlah kamu bukan tipenya.”

       Menanggapi kalimat tersebut, aku menghilangkan segala kemungkinan bahkan hanya untuk tahu siapa nama sebenarnya. Hingga akhirnya kami dipertemukan pada suatu komunitas Pecinta Alam, dimana bukannya naksir Dito, aku malah kagum dengan pesona Ketua kami. Tapi takdir tidak mempertemukanku dengan Pak Ketua, meski kami telah berusaha saat itu. Kembali dipertemukan dengan Mas Dito pada suatu sore terkait project IT yang akan kami kerjakan bersama untuk keperluan komunitas tersebut, tetap saja tidak membuatku tertarik padanya. Hingga pada akhirnya, aku meninggalkan Jakarta beberapa tahun silam. Mas Dito orang pertama yang mencariku ketika Ia baru sadar bahwa beberapa minggu ke belakang, aku sudah tidak ada lagi disekitarnya.

Jakarta, Oktober 2019.

“Oh gitu, tapi kenapa Mas dulu baru datang saat aku sudah pergi?”

       Ya, Mas Dito adalah salah satu dari beberapa orang yang mencariku setelah kepindahanku dari Jakarta. Entah karena aku punya hutang atau cicilan yang belum terbayar hehe..kriuk (baca: garing). Ia yang datang pertama untuk mencariku melalui teman baik kami.

“Aku ga tau, kalau ternyata saat itu kamu sudah meninggalkan Jakarta. Aku ga bisa ninggalin Jakarta, Ibuku disini, pekerjaanku disini, hobi dan segala aktivitas yang aku suka ada disini. Aku ingin melengkapi hidupku dengan keberadaanmu saat itu. Ku kira kamu masih di Jakarta, tapi ternyata sudah jauh disana.”

“Ku rasa begitupun denganku, Mas. Aku sudah nyaman dengan tempatku berada saat ini. Aku belum terpikir untuk kembali ke Jakarta dengan segala kerumitan dan kesibukan yang pernah aku alami sebelumnya.”

“Kamu suka dengan pekerjaanmu? Suka dengan tempat tinggalmu sekarang? Kenapa?”

“Iya, aku suka. Aku suka dengan pekerjaanku saat ini, sudah nyaman untuk menjalaninya. Tempat tinggalku sekarang lebih mudah untuk menjangkau kedua orang tuaku. Aku bisa pulang sewaktu-waktu jika dibutuhkan.”

“Kita sepertinya masih di jalan masing-masing ya. Tidak ada yang berubah dari harapanku di saat awal kita bertemu. Kamu masih dengan kesibukanmu dan aku juga. Ku rasa kita masih belum menemukan titik temu. Kita jalani aja hidup kita masing-masing.”

       Perjalanan menuju Bandara Soekarno Hatta sore itu mendadak menjadi sangat berat, kemacetan Jakarta terasa semakin menjadi-jadi ketika di tengah kesedihan itu diputarlah lagu Two Ghosts yang dinyanyikan oleh Harry Styles. Liriknya bercerita bahwa bagaimana dua orang yang dulu begitu dekat, kemudian saat bertemu kembali ternyata terasa begitu jauh. Time flies and people change. Perjalanan pulang kali itu benar-benar membuat dada terasa sesak dan bernafas begitu berat seolah terkena asma, tanpa ada riwayat asma.

——

       Waktu tetap berlalu dan aku berusaha melupakannya, kurasa Ia juga melupakanku. Hingga tiba suatu masa dimana kedua orang tuaku berencanana melakukan perjalanan ibadah melalui biro perjalanan di Jakarta. Dari berbagai opsi teman yang bisa dipercaya dan bersedia meluangkan waktu untuk membantu segala persiapan administrasi, hanya Mas Dito yang segera mengiyakan tanpa penolakan sedikit pun. Segala persiapan keberangkatan hingga kedatangan sama sekali tidak ada kendala. Hingga pada saat kepulangan Ayah dan Ibu tiba, Mas Dito datang bersama Ibunya ke bandara. Dan Ia menyampaikan tujuan utama kedatangannya bersama Ibunya. Namun kondisi saat itu sudah berbeda, aku tidak dalam kondisi bisa memilih. Keputusan telah di buat sebelumnya. Dan lagi-lagi kepulangan setelah pertemuan dengan Mas Dito, berakhir dengan kondisi sesak napas, seakan ketersediaan oksigen di bumi ini tiba-tiba menipis.

———

       Mungkin bukan waktu yang harus disalahkan, kenapa aku tidak bertemu dia sebelum dia. Kenapa bukan Mas Dito yang datang pertama, kenapa harus dia. Mungkin aku yang tidak sabar menunggu, ketika mas Dito merasa dirinya belum siap. Namun ketika Mas Dito siap, kenapa keputusan itu sudah di buat. Aku jauh lebih mengenal Mas Dito jika dibandingkan dengan Ia. Aku tahu bagaimana lingkungan kerja, lingkungan pertemanan, hobi dan kesukaannya serta bagaimana wawasan ilmu agamanya. Yang jika aku tidak menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan mengenai persoalan sehari-hari terkait wawasan agama, Mas Dito adalah ‘Google’ andalanku. Namun, keputusan telah di buat, dan laki-laki yang akan menjadi imamku, bukanlah Mas Dito. Maka, sebaiknya aku segera berhenti untuk membandingkan.

       Saat ini, aku merasa perasaanku padanya (Ia yang telah ku pilih) tidak akan pernah seperti yang kurasakan padamu, Mas. Hal yang kualami ini membuatku semakin yakin atas kalam-Nya, “..boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. 2:216).

       Mungkin Mas Dito merupakan sosok yang aku inginkan, yang aku impikan, yang aku harapkan untuk menemani hari-hari ke depan. Sosok untuk berbagi suka dan duka, sosok yang membuatku menurunkan idealisme yang terlalu tinggi hingga lupa bahwa kita ternyata hanya manusia biasa yang penuh kekurangan. Sosok yang tidak banyak menuntut perubahan, yang menerima segala kekurangan dan bersedia membersamai dalam kondisi apapun. Maaf jika beberapa tahun silam kedatanganmu dengan niat yang baik itu, tidak mendapat respon yang tepat hanya karena logika matematika yang ternyata meremehkan kuasa Sang Pencipta. Terima kasih karena tetap berbuat baik tanpa henti padaku, meski caraku memperlakukanmu dulu tidak baik.

       Maafkan jika aku telah memilih orang yang aku tau dia mencintaiku, yang mengutarakan niat baiknya dan mendatangi dengan cara-cara baik, yang menerimaku sepaket dengan kelebihan dan kekuranganku, serta kekonyolanku yang nanti kalau dia tanya ibukota-ibukota di Kalimantan, aku sudah bisa jawab. Kota-kota di Sumatera juga, biar ga ketuker gara-gara Selai Kaya. Ia yang memilih untuk menghentikan perjalanannya sesaat untuk mengajakku bergabung pada itinerary yang telah Ia susun. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan kembali. Mas Dito jika surat ini telah sampai kepadamu, ku harap masing-masing kita tidak menyesali keputusan-keputusan yang telah kita ambil di masa lalu. Semoga kebaikan-kebaikan yang telah kamu berikan selama mengenalku, akan dilipatgandakan dan kembali padamu.

Dari seorang pengagum yang beberapa hari lagi akan menghapus segala kenangan dan ingatan tentangmu. Mohon doa restu untuk keputusan terbaik yang telah aku ambil tanpa ada kamu di dalamnya. Terima kasih untuk segalanya, Mas.

 

Jakarta,
Minggu, 9 Agustus 2020 @ 9:00 PM
Bandara Soekarno-Hatta Terminal Keberangkatan 2F.
– Tempat dimana harapan itu tumbuh dan mendadak lenyap tak berbekas.

Perjalanan Rasa

Ini adalah kisah gue, Tyo, seorang cowok ganteng yang sebenernya sudah menjatuhkan pilihan teman hidup pada seorang wanita bernama Nesa tapi sampai saat ini belum bisa merubah statusnya di KTP.

Enak aja! Ini cerita tentang aku, Nesa, seorang perempuan yang masih sibuk mengurus dirinya sendiri, sibuk membandingkan si A, si B, si C hingga saat ini masih belum menentukan pilihan. Cewek paling ribet, paling kompleks dalam menentukan pilihan. Perlu analisa panjang, pertimbangan dari segala aspek, puasa senin kamis, sampai mandi kembang 7 rupa demi menentukan sebuah jawaban. Yang terakhir lebay ding hahaa..

“Sa, biar gue nyelesein kisah gue duluan. Ntar lu pake judul yang lain deh.”

“GA! Aku juga mau cerita. Lagian cowok ngalah dikit napa ama cewek.”

“Oke, biar adil kita gantian. Gimana?”

“Okayy… Dimulai dari aku dulu yaaa…”

“Tapi Sa, wait…”

—–
#Nesa

Halo semua, aku Nesa. Di kisah ini aku ga akan ceritain siapa Tyo, biar dia cerita tentang dirinya sendiri nanti. Palingan cuman bahas gimana si Tyo itu (lah, apa bedanya cuy..), apa hubungan dia sama aku, bagaimana kami bisa saling kenal dan seperti apa hubungan kami saat ini. Kalau diperkenalan awal dia kepedean ngaku-ngaku ganteng, honestly, doi emang ganteng. Tapi kan cowok ganteng itu makin keren kalau dia ga merasa ganteng dan stay cool yak. Ini karena dia pedenya teramat sangat jadi agak gimanaa gitu…

Tyo yang kukenal selama 3 tahun terakhir, makin kesini dia makin banyak berubah. Mungkin karena dulu ga kenal-kenal amat kali ya. Terakhir ketemu dia sekitar 2-3 bulan yang lalu. Sosoknya berubah dari yang awalnya kukenal sangat kaku, ternyata ramah juga. Yang paling ga nyangka, dia ternyata bisa bercanda! Ya walaupun level candaannya masih beginner, tapi ya “nice try lah ya“. Pertemuan kami kemarin seperti bentuk akumulasi rindu setelah setahun tak bertemu. Kukira perasaanku kepadanya sudah benar-benar hilang, karena ia tiba-tiba menghilang setelah kami sebegitu dekatnya. Dulu.

H-1 sebelum bertemu dengannya, mendadak banyak kupu-kupu yang menari-nari di perut, entah di bagian lambung atau ginjal. Serta senyum yang mengembang benar-benar tak lepas dariku. Padahal jadi atau tidaknya pertemuan kami pun masih belum pasti, karena agenda Tyo sangatlah padat saat berada di kota tempatku berada. Tapi alih-alih melupakan yang tidak pasti, rasa deg-degan menyambut kedatangannya benar-benar tak bisa terlepas meski sedetik. Ah aku tak sabar untuk segera bertemu dengannya di akhir pekan ini.

“Sa, sabtu malam, gue kayanya bisa nih. Urusan udah pada kelar.”

“Oke, di Mall ini aja ya, sekalian mau liat-liat travel fair sama temen yang mau liat paket liburan.”

“Oke ketemu disana ya.”

—–

Sore itu sebelum perjumpaan kami, aku bertemu dengan teman-teman kampus yang juga hunting tiket liburan dengan diskon gila-gilaan di sebuah Mall di kota Surabaya. Sebelum ikut berburu, aku ditemani beberapa teman untuk mengisi amunisi (baca: makan) di sebuah resto. Menu nasi goreng yang tadi ku pesan ternyata cukup untuk 4 orang, beruntung di depanku duduk tampan (klo temannya cewek, jadinya duduk cantik :p) seorang teman bernama Andi yang bersedia menemani menghabiskan porsi tersebut, meski pada akhirnya kami menyerah dan nasi goreng tersebut kami bungkus. Detik-detik menjelang pertemuanku dengan Tyo semakin dekat dan aku semakin gelisah karena tidak tau apa yang nanti harus diobrolkan, apakah outfit yang ku pakai hari ini cocok untuk bertemu dengannya, dandanan hari ini norak atau ga pas ketemu dia. Duh!

Ketika kepanikan melanda, mendadak aku terbayang beberapa tahun lalu bagaimana awal perjumpaan kami di Ibukota. Sungguh sosok yang aku tunggu kedatangannya malam ini, jika ditarik mundur ke beberapa tahun yang lalu, benar-benar sosok yang tidak ingin ku temui lagi di masa depan.